Catatan Kemerdekaan dari Wawonii: Pulau Kecil, Mimpi Besar

sketsa warga Wawonii

“Sebelum suami saya kerja di sana, biaya sekolah anak saja terpaksa berhutang kiri-kanan. Tapi, masuknya perusahaan ini, sangat membantu hidup kami karena tiap bulan selalu ada yang diharap (pemasukan). Sekarang terjadi efisiensi, ini sangat memprihatinkan bagi kami dan semua keluarga yang bergantung pada sumber mata pencaharian di sana,” Sumarni, IRT Desa Teporoko, Wawonii Tenggara.

Bagi sebagian orang, kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan fisik. Namun bagi masyarakat di pulau kecil seperti Wawonii, kemerdekaan juga berarti memiliki kesempatan yang sama untuk maju, berkembang, dan sejahtera. Pertanyaannya adalah: apakah kemerdekaan benar-benar hadir di pulau kecil seperti Wawonii?

Pulau Kecil, Akses Terbatas

Pulau Wawonii, yang kini menjadi Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), berada sekitar tiga jam perjalanan laut dari Kendari. Terisolasi dari daratan utama, masyarakat Wawonii tumbuh dalam keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, hingga pasar. Meski kaya sumber daya alam- laut, kelapa, hingga mineral-masyarakat masih menghadapi tantangan dalam mengolah dan memasarkan hasil bumi. Kondisi inilah yang membuat investasi dipandang sebagai pintu untuk membuka masa depan baru. Bagi banyak warga, masuknya perusahaan tambang bukan sekadar pro-kontra politik, melainkan kenyataan yang mempengaruhi dapur rumah tangga. Testimoni Sumarni hanyalah salah satu potret nyata bagaimana investasi berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat Wawonii.

Data Bicara: Konkep Masih Tertinggal

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, IPM Konawe Kepulauan terus meningkat dari 66,20 (2020) menjadi 68,11 (2023). Namun capaian itu masih berada di bawah rata-rata Sulawesi Tenggara (72,94) dan termasuk dalam tiga terendah di provinsi. Artinya, pembangunan manusia- terutama pendidikan, kesehatan, dan daya beli-masih tertinggal. Dari sisi ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Konkep naik signifikan, dari Rp1,38 triliun (2019) menjadi Rp1,71 triliun (2023). Sektor pertambangan dan penggalian menjadi penyumbang terbesar kedua dengan nilai Rp192,6 miliar pada 2023, setelah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kabar baik datang dari sisi kemiskinan. Pada 2021, tingkat kemiskinan masih di angka 17,81 persen, lalu turun ke 16,15 persen (2022) dan 15,90 persen (2023). Tren penurunan ini merupakan yang tercepat di Sultra, meski angka absolutnya masih relatif tinggi.

Investasi: Ancaman atau Harapan?

Polemik tentang pertambangan di pulau kecil memang bukan hanya milik Wawonii. Kasus di Raja Ampat, Papua Barat, menjadi cermin nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XX1/2023 menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil tidak dilarang mutlak, asalkan memenuhi syarat lingkungan dan hukum. Di Wawonii sendiri, keberadaan investasi tambang memunculkan paradoks. Di satu sisi, ia menggerakkan ekonomi lokal: warung, kos-kosan, UMKM, hingga peningkatan konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, ada kekhawatiran akan dampak lingkungan dan masa depan generasi mendatang. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masyarakat tidak bisa menutup mata pada perubahan.

“Masuknya tambang terbukti memberikan dampak ekonomi yang cukup besar. Masyarakat jadi memiliki daya beli dan konsumsi yang lebih besar,” ujar Kepala Bappeda Konkep, Safiuddin Alibas, dalam laporan resmi BPS.

Kemerdekaan Sejati di Pulau Kecil

Kemerdekaan sejati bagi masyarakat Wawonii bukan hanya simbol bendera berkibar setiap 17 Agustus, melainkan hadirnya akses yang setara untuk hidup lebih baik. Saat ini, masih ada kesenjangan pembangunan antara daratan dan kepulauan-baik dalam infrastruktur, pendidikan, maupun lapangan kerja. Di tengah keterbatasan itu, investasi menjadi instrumen percepatan yang tidak bisa ditolak mentah-mentah. Persoalannya bukan apakah tambang boleh atau tidak, tetapi bagaimana memastikan pengelolaan yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Pemerintah punya tugas ganda: membuka pintu investasi, sekaligus menjaga masa depan pulau kecil agar tidak hancur oleh eksploitasi berlebihan.

Wawonii adalah potret nyata bagaimana kemerdekaan harus diartikan ulang. Bukan sekadar bebas, melainkan berdaya. Bukan hanya bisa berdiri sendiri, tetapi juga mampu bersaing. Pulau kecil ini menyimpan mimpi besar: menjadi bagian dari Indonesia yang tumbuh seimbang, adil, dan sejahtera. Dan di balik semua angka statistik dan perdebatan hukum, ada suara sederhana seorang ibu dari Teporoko:

“Sekarang terjadi efisiensi, ini sangat memprihatinkan bagi kami…,” sebuah pengingat bahwa setiap kebijakan dan investasi pada akhirnya bermuara pada nasib keluarga kecil di sebuah pulau kecil.

Sumber: Antara Sultra

Related posts

Leave a Comment